Hari ini saya berbicara (baca: chat) dengan banyak teman karena blog ini. Topiknya menarik. Barusan saja saya chat dengan seorang pria (saya belum pernah bertemu dia, dia menggunakan nick X) lewat google yang terputus karena dia harus meeting. While he is in his meeting, saya menulis di sini tentang apa yang kami bicarakan.
Pernah punya teman wanita? pasti pernah lah ya.. tapi maksud saya teman wanita yang apabila kita ajak kencan merasa rugi kalau tidak kita nikahi. Sori, agak berbelit kalimatnya. Kasusnya begini.. ada seorang teman wanita saya yang tidak mau saya "raba-raba" ketika kami sedang horny.
"Rugi", kata dia. "Kamu cowok sih enak aja..".
"OK deh, kamu yang raba-raba aku deh", jawab saya.
Eh, dia malah tertawa cekikan nggak mau..
"lho, gimana nih gak mau rugi dikasih untung juga gak mau :) ", tambah saya.
Saya tanya apakah dia masih virgin. Dia menjawab udah nggak, karena dia pernah berhubungan sekali dengan pacar pertamanya dulu.
"Kita check in yuk.", ajak saya.
"Ngapain?", tanya dia.
"ya ngapain lagi.. make love donk.. :)", kata saya.
"ih nggak mau. Kita kan belum nikah atau at least aku belum pasti ama kamu.. rugi donk aku.", jawabnya sambil cubit pinggang saya.
Untung - Rugi lagi.. pikir saya.
"Gimana caranya supaya kita bisa tidur bareng, tapi kamu gak rugi?", tanya saya lagi.
"Gak ada. Pasti cewek yang dirugikan.", jawab dia.
Hmmm.. ya pengalaman itu tadi yang saya diskusikan dengan teman X. X berpendapat itu masalah persepsi sebagai subject dan object. Wanita, entah mengapa - dan tentu saja tidak semuanya - selalu menganggap tindakan2 agresif seperti di atas (meraba, mengajak tidur, dan sejenisnya) merugikan mereka.
Menurut saya (dan juga teman X, posting ini sebagai konfirmasi pendapat kamu yang tadi terputus), untung - rugi tercipta karena kebudayaan kita yang menganggap wanita sebagai manusia nomor 2 (tepat gak sih istilah ini? orang teknik sok berbudaya nih :)). Selalu pria yang mengatur semuanya (menjadi subject) dan wanita yang menjadi object. Andai kata teman wanita tadi berpikir bahwa sebenarnya apa yang terjadi padanya, dia turut berperan, sama2 menjadi subject tentu pikiran untung rugi menjadi tidak ada. Toh kami berdua sama2 diuntungkan (baca: di-enak-an). Betul tidak? Mengapa karena dia yang diraba dia merasa yang dijadikan object - memang kalau kalimatnya "saya meraba dia", secara gramar dia jadi obyek tetapi kalau kalimatnya diganti "dia menggosokan dadanya ke tangan saya" tentu saja saat itu dia menjadi subject :)). Ini pendapat pribadi lho.
Pernah ada istri yang marah ke suami dia merasa diperlakukan tidak adil. Dia merasa menjadi pembantu gratis, pelacur yang melayani pria tanpa bayar, dan seterusnya. Dia mau minta bayaran ke suaminya atas semua itu. Di lain pihak si suami merasa justru dia yang menjadi budak tanpa bayaran, harus mencari uang, menyediakan penginapan gratis, sopir tanpa gaji dan juga satpam 24 jam. Duh... lagi2 masalah perspektif hidup (atau persepsi sih.. tau ah).
Bagaimana dengan sex? Bagaimana dengan kehidupan sex anda? di posisi mana ketika anda bercinta? subject atau object?
Apabila anda wanita, apakah tadi malam ketika anda bercinta dengan suami anda, anda hanya rebah, telentang dan suami mulai "menusuk" anda trus selesai? OK, mungkin dengan sedikit variasi, anda "meminta" suami anda merangsang anda.. selanjutnya begitu lagi dan selesai (anda & suami orgasme)?
Apabila anda pria, apakah anda hanya meminta (mencium, sedikit merangsang) istri anda dan langsung menusuk trus selesai (anda & istri orgasme)?
Selalu menjadi subject/object itu membosankan. Cobalah jadi keduanya!
Tuesday, January 8, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment